Pobesito.com, Indonesia – Bank Indonesia (BI) memperkirakan penjualan eceran nasional akan mengalami peningkatan pada Oktober 2025, menandai tren positif di tengah tantangan ekonomi global dan inflasi yang masih terkendali. neraka33
Melalui laporan Survei Penjualan Eceran (SPE) yang dirilis awal November, BI menilai peningkatan terutama didorong oleh kelompok makanan, minuman, tembakau, dan barang kebutuhan rumah tangga.
Prediksi ini sejalan dengan menguatnya Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang menunjukkan masyarakat semakin optimistis terhadap pendapatan dan kondisi ekonomi enam bulan mendatang.
“Momentum konsumsi domestik tetap kuat di tengah tekanan eksternal, dan ini menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi,” ujar Deputi Gubernur BI, Filianingsih Hendarta.
1. Indeks Penjualan Riil (IPR) Terus Menguat

Hasil survei BI menunjukkan bahwa Indeks Penjualan Riil (IPR) pada September 2025 tumbuh 5,8% secara tahunan (yoy) dan meningkat 0,9% secara bulanan (mtm).
Kenaikan tersebut diproyeksikan berlanjut hingga Oktober 2025 dengan pertumbuhan di kisaran 6%–6,3% yoy, menunjukkan tren ekspansi konsumsi rumah tangga yang berkelanjutan.
Kenaikan IPR tidak hanya menandakan peningkatan volume transaksi, tetapi juga mencerminkan stabilitas harga barang konsumsi di pasar domestik.
Secara umum, BI memperkirakan sektor ritel akan menjadi salah satu motor utama pertumbuhan PDB kuartal IV/2025.
2. Sektor Penyumbang Utama Kenaikan
Dalam laporan yang sama, BI mengidentifikasi tiga kelompok barang utama yang berkontribusi besar terhadap kenaikan penjualan eceran:
a. Makanan, Minuman, dan Tembakau
Kelompok ini mencatat kenaikan tertinggi, sekitar 8,1% yoy, berkat peningkatan permintaan bahan pangan olahan dan minuman kemasan.
Peningkatan konsumsi terjadi di wilayah perkotaan besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, serta mulai meluas ke kota sekunder seperti Makassar dan Pekanbaru.
b. Barang Rumah Tangga dan Elektronik
Permintaan meningkat 6,5% yoy, dipicu promosi ritel menjelang akhir tahun serta peningkatan pengeluaran rumah tangga kelas menengah untuk kebutuhan renovasi dan elektronik kecil.
c. Pakaian dan Alas Kaki
Sektor fesyen mencatat kenaikan 5,2% yoy, didorong oleh kampanye belanja daring seperti 10.10 Sale dan 11.11 Flash Sale, yang semakin populer di kalangan generasi muda.
3. Daya Beli Membaik di Tengah Inflasi Terkendali

Kondisi daya beli masyarakat terus menunjukkan pemulihan.
Inflasi per September 2025 tercatat 2,6% yoy, masih dalam kisaran target pemerintah (2,5% ± 1%), berkat pengendalian harga pangan oleh pemerintah dan koordinasi Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID).
Kenaikan upah minimum dan bonus musiman dari beberapa perusahaan juga berperan dalam menjaga daya beli masyarakat.
Selain itu, kebijakan moneter BI yang menahan suku bunga acuan di level 6,25% turut menjaga stabilitas konsumsi di sektor ritel.
“Selama inflasi terkendali, potensi peningkatan konsumsi masyarakat akan tetap terjaga,” jelas Josua Pardede, ekonom senior PermataBank.
4. Promosi Ritel dan Efek Digitalisasi

Salah satu faktor pendorong pertumbuhan penjualan eceran adalah gelombang promosi besar-besaran dari ritel modern dan e-commerce.
Program seperti Harbolnas, 11.11 Mega Sale, dan Festival Belanja Akhir Tahun telah memicu lonjakan transaksi hingga 20% dibanding bulan sebelumnya.
Data dari BI menunjukkan, penjualan online retail menyumbang sekitar 14% dari total transaksi ritel nasional, naik signifikan dibanding 2024 yang masih di level 10%.
Platform seperti Tokopedia, Shopee, dan Blibli mencatat peningkatan transaksi untuk kategori produk konsumsi harian, pakaian, dan elektronik rumah tangga.
Digitalisasi juga mendorong efisiensi logistik dan pembayaran, terutama melalui sistem QRIS dan BI-FAST, yang kini digunakan oleh jutaan UMKM.
5. Pemerataan Pertumbuhan di Daerah
Peningkatan penjualan eceran tidak hanya terjadi di kota besar, tetapi juga merata ke wilayah-wilayah dengan pertumbuhan ekonomi baru.
Provinsi seperti Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, dan Sumatera Barat mencatat pertumbuhan penjualan di atas 7% yoy, berkat peningkatan daya beli masyarakat lokal dan pertumbuhan industri pariwisata.
“Digitalisasi dan distribusi logistik yang semakin baik membuat produk ritel menjangkau daerah yang sebelumnya sulit diakses,” ujar ekonom INDEF Eka Suryani.
Pemerataan ini menunjukkan bahwa potensi pasar konsumsi Indonesia semakin luas, sejalan dengan peningkatan penetrasi internet dan adopsi pembayaran digital di daerah.
6. Tantangan: Suku Bunga Global dan Biaya Produksi
Meski tren positif, sektor ritel tetap menghadapi tantangan signifikan dari eksternal.
Suku bunga global yang masih tinggi, terutama di Amerika Serikat, berpotensi menekan nilai tukar rupiah dan menaikkan biaya impor bahan baku.
Selain itu, kenaikan biaya logistik dan distribusi di dalam negeri masih menjadi kendala bagi pelaku usaha kecil.
Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) mencatat bahwa biaya logistik dalam negeri masih 15–20% dari total harga jual barang, jauh di atas rata-rata Asia Tenggara yang hanya 10%.
“Pemerintah perlu terus mendorong efisiensi distribusi agar margin keuntungan ritel tidak tergerus,” kata Ketua APRINDO Roy Mandey.
7. Dampak terhadap Pertumbuhan Ekonomi Nasional
Kenaikan penjualan eceran menjadi sinyal kuat bagi ekonomi Indonesia yang berbasis konsumsi.
Selama ini, konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 53% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Dengan meningkatnya belanja masyarakat, BI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi kuartal IV/2025 dapat mencapai 5,2% yoy, lebih tinggi dibanding kuartal sebelumnya (5,0%).
Sektor ritel modern juga berkontribusi terhadap peningkatan tenaga kerja, khususnya di segmen kasir, gudang, dan logistik digital.
Data dari Kementerian Perdagangan mencatat, industri ritel menciptakan lebih dari 45.000 lapangan kerja baru sepanjang 2025.
8. Strategi BI Menjaga Momentum Konsumsi
Untuk menjaga momentum ini, Bank Indonesia menjalankan beberapa strategi kebijakan:
- Menjaga stabilitas harga dan nilai tukar rupiah melalui intervensi pasar dan koordinasi lintas lembaga.
- Memperluas implementasi QRIS dan BI-FAST untuk memperlancar transaksi ritel digital.
- Memperkuat sinergi pengendalian inflasi pangan lewat program GNPIP (Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan).
- Mendorong kredit konsumsi dan produktif syariah, khususnya bagi UMKM di sektor perdagangan.
Langkah-langkah ini tidak hanya menjaga konsumsi domestik, tetapi juga memperkuat pondasi ekonomi nasional berbasis sektor ritel.
9. Outlook Akhir Tahun 2025
Dengan indikator konsumsi yang membaik dan inflasi yang stabil, BI memperkirakan penjualan eceran akan terus tumbuh hingga akhir 2025.
Momentum liburan, peningkatan pariwisata domestik, dan bonus akhir tahun menjadi faktor tambahan yang memperkuat daya beli masyarakat.
“Kami memperkirakan pertumbuhan penjualan eceran November–Desember akan mencapai kisaran 7–8% yoy,” ungkap BI dalam laporannya.
Sektor ritel diprediksi menjadi salah satu sektor dengan performa terbaik menjelang 2026, berkat dukungan digitalisasi dan kepercayaan konsumen yang semakin kuat.
Kesimpulan
Perkiraan peningkatan penjualan eceran Oktober 2025 menjadi sinyal positif bagi ekonomi Indonesia.
Konsistensi pertumbuhan konsumsi, dukungan kebijakan moneter BI, serta dorongan digitalisasi menjadikan sektor ritel sebagai salah satu motor utama pertumbuhan nasional.
Namun, tantangan eksternal seperti suku bunga global dan biaya logistik perlu terus diantisipasi agar momentum konsumsi tidak melambat.
Dengan fondasi yang kuat dan daya beli masyarakat yang membaik, ekonomi Indonesia berpotensi tetap tumbuh stabil hingga 2026.
“Konsumsi domestik masih menjadi lokomotif utama, dan BI berkomitmen menjaga ritmenya tetap sehat,” tutup Filianingsih Hendarta.







